Laju pertumbuhan penduduk (LPP) antara
tahun 1971-1980 mencapai 3,04 persen per tahun, dan antara 1980-1990 menjadi
3,23 persen per tahun. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk antara 1990-2010
masih melampaui 2,5 persen. Angka tersebut melampaui rata-rata nasional. LPP
yang tinggi terutama disebabkan banyaknya pendatang terutama transmigrasi.
Dengan demikian angka kepadatan penduduk
(densitas) pun terus meningkat, jika pad atahun 1971 hanya 10 jiwa per km2,
tahun 1980 menjadi 12 jiwa per km2, tahun 1990 mencapai 17 jiwa per km2, dan
tahun 2010 melampaui 23 jiwa per km2.
Sebagaimana di pulau-pulau lainnya,
penyebaran penduduk di Kalimantan pun tidak merata, daerah yang terpadat ialah
Kota Banjarmasin mencapai 8.606 jiwa per km2. Sekitar 17,25 persen
penduduk Kalsel bermukim di Banjarmasin. Beberapa daerah padat lainnya ialah Kota Pontianak,
Samarinda, Balikpapan, Kabupaten Kotabaru dan Tanah Laut.
Seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk, maka tekanan terhadap
lingkungan pun makin meningkat, terutama terhadap hutan. Bisa dikatakan, makin
tinggi LPP makin tinggi pula laju kerusakan hutan (deforestasi).
Menurut Goeltenboth (1992), kerusakan
hutan tropis awalnya bisa disebabkan banyak hal, misalnya karena pertumbuhan
penduduk, kemiskinan, masalah utang luar negeri dan kondisi perekonomian yang
buruk. Namun untuk sebagian besar penyebab utamanya karena perluasan lahan
pertanian dan perkebunan, pembangunan berbagai proyek swasta besar, serta
eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya kayu.
Sedangkan menyangkut penduduk asli
disebutkan, bahwa selama berabad-abad, penduduk asli dalam memanfaatkan hutan
tanpa merusak keseimbangan ekosistem. Bisa dikatakan bahwa penyebab utama
terjadinya kerusakan hutan ialah akibat sikap rakus sebagian pendatang dalam
mengeksploitasi lingkungan.
Diperkirakan penebangan hutan berlangsung
dengan kecepatan sekitar 1 persen per tahun, atau sekitar 20-40 hektar hutan
hilang tiap menit. Keberadaan hutan tropis, termasuk hutan di Kalimantan,
terancam oleh dua kegiatan, pertama adanya penebangan secara selektif, terutama
untuk menyediakan bahan baku industru kayu (Logs,
sawn wood, palywood); kedua adanya penebangan seluruh areal, baik untuk
kegiatan pertanian tebar bakar (slash-and-burn agriculture) atau perladangan,
membuka perkebunan, peternakan, pertambangan atau industry kayu.
Menurut Wana Khatulistiwa (1992), dua
penyebab utama kerusakan hutan tersebut, jika tidak segera dikendalikan dan
diperbaiki skenario antisipasinya, oleh banyak kalangan dikhawatirkan akan
memperparah laju deforestasi yang selama ini terjadi.
Dalam jangka panjang kerusakan hutan akan
berdampak negatif terhadap kehidupan liar (wildlife),
perekonomian global dan lokal, mutu kehidupan masyarakat sekitar hutan dan
iklim. Bagaimanapun laju deforestasi harus dikendalikan, terlebih jika
mengingat hutan Kalimantan secara ekologi dan ekonomi merupakan salah satu yang
terpenting di dunia.
Hutan Kalimantan mengandung ribuan
spesies burung, reptil dan amfibi. Selain itu merupakan “bank genetik” untuk
keperluan pemuliaan tanaman (plant
breeding), serta banyak terdapat tumbuhan obat-obatan dan florikultur
seperti anggrek. Selain kayu, hutan di Kalimantan juga menghasilkan tengkawang,
damar, bambu, minyak kayu putih, terpentin, gondorukem, rotan, sirap, arang,
madu, dan sebagainya.
Fungsi ekologi hutan berkaitan dengan isu mengenai pemanasan
global dan bocornya lapisan ozon. Bagaimanapun hutan di Kalimantan memberikan
kontribusi yang tak sedikit terhadap keseimbangan ekosistem Kalimantan. Seperti
melindungi daerah aliran sungai (DAS), menyeimbangkan berbagai siklus unsur
hara dan siklus hidrologi, sumber karbon, mengurangi pencemaran udara dan
mempengaruhi iklim mikro. Sudah selayaknya di kota-kota yang memiliki unit-unit
industri seperti Bontang, Balikpapan, Banjarmasin, dan sebagainya disediakan
areal khusus untuk hutan kota.
Menurut laporan FAO tahun 1989, ternyata laju kerusakan
hutan di Kalimantan mencapai lebih dari 600 ribu hektar per tahun, dan
merupakan yang paling tinggi dibanding pulau-pulau lainnya di Indonesia. Hal
tersebut tentu saja patut digaris-bawahi, jangan sampai laju kerusakan tersebut
makin tidak terkendali.
Sementara menurut Save Our Borneo (SOB), sebuah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) peduli
lingkungan, sekitar Juni 2008 mengungkapkan sekitar 80 persen kerusakan hutan
yang terjadi di Kalimantan disebabkan ekspansi sawit oleh perusahaan besar.
Sekitar 20 persen karena
pertambangan dan area transmigrasi. SOB
juga mengungkapkan, berdasarkan prediksi
tren 10 tahunan, dari luas Kalimantan yang mencapai 59 juta hektare, laju
kerusakan hutan (deforestasi) telah mencapai 864 ribu hektare per tahun atau
2,16%. Kerusakan paling luas terjadi di Kalimantan Tengah, yaitu mencapai 256
ribu hektar per tahun, atau sekitar 2,2 persen per tahun.
Jika hal itu dibiarkan berlarut-larut, tak mustahil suatu
saat di Kalimantan terjadi proses penggurunan (desertifikasi). Di Planet Bumi
sudah ada Gurun Sahara, Gurun Gobi, dan sebagainya. Nah, jangan sampai ada yang
dinamakan Gurun Kalimantan. Sudah semestinya prinsip pengelolaan hutan yang
berkelanjutan benar-benar diterapkan.
sumber : pantonanews.com
No comments:
Post a Comment