sementara konsumsi akan mencapai 4,1 juta ton, sehingga akan terjadi defisit sekitar 50 ribu ton per tahun (Suryani, 2007). Kondisi ini merupakan suatu peluang yang baik bagi Indonesia karena sebenarnya Indonesia berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia.
Namun, kualitas biji kakao yang diekspor oleh
Indonesia dikenal sangat rendah (berada di kelas 3 dan 4). Hal ini
disebabkan oleh, pengelolaan produk kakao yang masih tradisional (85%
biji kakao produksi nasional tidak difermentasi) sehingga kualitas kakao
Indonesia menjadi rendah. Kualitas rendah menyebabkan harga biji dan
produk kakao Indonesia di pasar internasional dikenai diskon USD200/ton
atau 10%-15% dari harga pasar. Selain itu, beban pajak ekspor kakao
olahan (sebesar 30%) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan beban
pajak impor produk kakao (5%), kondisi tersebut telah menyebabkan jumlah
pabrik olahan kakao Indonesia terus menyusut (Suryani, 2007). Selain
itu para pedagang (terutama trader asing) lebih senang mengekspor dalam
bentuk biji kakao (non olahan).
Peningkatan
produksi kakao mempunyai arti yang strategis karena pasar ekspor biji
kakao Indonesia masih sangat terbuka dan pasar domestik masih belum
tergarap. Permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat
diatasi dengan penerapan fermentasi pada pengolahan biji pasca panen dan
pengembangan produk hilir kakao berupa serbuk kakao.
Proses
fermentasi akan menghasilkan kakao dengan cita rasa setara dengan kakao
yang berasal dari Ghana. Selain itu, kakao Indonesia memiliki kelebihan
tidak mudah meleleh sehingga cocok untuk blending.
Fermentasi
merupakan suatu proses produksi suatu produk dengan mikroba sebagai
organisme pemroses. Fermentasi biji kakao merupakan fermentasi
tradisional yang melibatkan mikroorganisme indigen dan aktivitas enzim
endogen. Fermentasi biji kakao tidak memerlukan penambahan kultur
starter (biang), karena pulp kakao yang mengandung banyak glukosa,
fruktosa, sukrosa dan asam sitrat dapat mengundang pertumbuhan
mikroorganisme sehingga terjadi fermentasi.
Tahapan pengolahan pasca panen kakao yaitu buah hasil panen dibelah dan biji berselimut pulp dikeluarkan, kemudian dikumpulkan pada suatu wadah. Jenis wadah yang digunakan dapat bervariasi, diantaranya drying platforms (Amerika), keranjang yang dilapisi oleh daun, dan kontainer kayu. Kontainer disimpan di atas tanah atau di atas saluran untuk menampung pulp juices yang dihasilkan selama fermentasi (hasil degradasi pulp). Pada umumnya, dasar kontainer memiliki lubang kecil untuk drainase dan aerasi. Kontainer tidak diisi secara penuh, disisakan 10 cm dari atas dan permukaan atas ditutupi dengan daun pisang yang bertujuan untuk menahan panas dan mencegah permukaan biji dari pengeringan. Fermentasi dalam kotak dapat dilakukan selama 2 – 6 hari, isi kotak dibalik tiap hari dengan memindahkannya ke kotak lain.
Fermentasi
biji kakao akan menghasilkan prekursor cita rasa, mencokelat-hitamkan
warna biji, mengurangi rasa-rasa pahit, asam, manis dan aroma bunga,
meningkatkan aroma kakao (cokelat) dan kacang (nutty), dan mengeraskan
kulit biji menjadi seperti tempurung. Biji yang tidak difermentasi tidak
akan memiliki senyawa prekursor tersebut sehingga cita rasa dan mutu
biji sangat rendah. Fermentasi pada biji kakao terjadi dalam dua tahap
yaitu fermentasi anaerob dan fermentasi aerob. Keberadaan asam sitrat
membuat lingkungan pulp menjadi asam sehingga akan menginisiasi
pertumbuhan ragi dan terjadi fermentasi secara anaerob. Fermentasi aerob
diinisiasi oleh bakteri asam laktat dan bakteri asam asetat. Produk
fermentasi yang dihasilkan berupa etanol, asam laktat, dan asam asetat
yang akan berdifusi ke dalam biji dan membuat biji tidak berkecambah.
Selama
fermentasi terjadi pula aktivitas enzimatik, enzim yang terlibat adalah
endoprotease, aminopeptidase, karboksipeptidase, invertase (kotiledon
dan pulp), polifenol oksidase dan glikosidase. Enzim-enzim ini berperan
dalam pembentukan prekursor cita rasa dan degradasi pigmen selama
fermentasi. Prekursor cita rasa (asam amino, peptida dan gula pereduksi)
membentuk komponen cita rasa di bawah reaksi Maillard (reaksi
pencoklatan non-enzimatis) selama penyangraian.
Untuk
menghentikan proses fermentasi, biji kakao kemudian dikeringkan.
Pengeringan dilakukan sampai kadar air menjadi 7 – 8 % (setimbang dengan
udara berkelembaban 75 %). Kadar air kurang dari 6 %, biji akan rapuh
sehingga penanganan serta pengolahan lanjutnya menjadi lebih sulit.
Kadar air lebih dari 9 % memungkinkan pelapukan biji oleh jamur.
Pengeringan dengan pemanas simar surya dapat memakan waktu 14 hari,
sedangkan dengan pengeringan non surya memakan waktu 2 – 3 hari.
Setelah
pengeringan, biji disortir untuk membersihkan biji dan dilanjutkan
dengan penyangraian pada suhu 210 C selama 10 – 15 menit. Tujuan dari
penyangraian adalah untuk mensterilisasi biji serta pembentukan cita
rasa dari prekursor cita rasa (hasil fermentasi) melalui reaksi
Maillard.
Pada saat
panen, petani coklat Indonesia memiliki kecenderungan untuk mengolah
biji coklat tanpa fermentasi dengan cara merendam biji dalam air untuk
membuang pulp dan dilanjutkan dengan penjemuran, dengan demikian biji
siap dijual tanpa memerhatikan kualitas. Langkah tersebut diambil petani
untuk mendapatkan hasil penjualan yang cepat karena jika melalui
fermentasi diperlukan waktu inkubasi sehingga petani harus menunggu
untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan, sedangkan fermentasi
merupkan kunci penting untuk memberikan cita rasa coklat. Dengan
demikian, pengetahuan mengenai pentingnya fermentasi pada biji kakao
perlu disebarluaskan pada petani coklat.
Produk
yang melalui proses fermentasi sehingga diperoleh cita rasa coklat yang
sesungguhnya dengan cost production yang relatif rendah. Fermentasi
dapat dilakukan secara tradisional dan tidak memerlukan treatment
khusus, hanya diperlukan wadah fermentasi dari kayu, ruang penyimpanan,
lahan untuk menjemur, dan mesin penyangrai.
Dikutip menyeluruh dari http://majarimagazine.com
No comments:
Post a Comment